Pesta Demokrasi, Harusnya Pestanya Masyarakat Cerdas II

Posted on 07:50 by Eri -182



Ohaiyogozaimasu people.
When I write this article, my computers toolbar show at six pass two. Adzan baru aja terdengar menghilang, berganti dengan suara nyaring imam masjid yang melafalkan surat al-fatihah dengan fasih dan jelas. Menandakan bahwa sholat wajib dua rokaat itu sedang berlangsung.

Kemarin sih jam segini aku uda ga lagi terjaga, aku sendiri juga ga ingat kemana aja aku terbang kemaren malam. Aaa!!! Pikiran masih kusut eue, yach meskipun tadi ga juga banyak yang di kerja sih. Semalaman tadi aku Cuma otak-atik keypad laptop aja sih searching resseter nya canon ip 1880 n japan dictionary. Eh ada temen muncul ngasih gossip yang ga’-ga’ tentang saiful jamil n kiki fatmala, whalah! Emang kurang ajar itu temen, masak aku di kasih gossip begituan! Bikin tersinggung aja. Harusnya kan orang mupeng kayak aku gini tau info ini lebih dulu dari pada dia. Wkakakaka!!! Ga pikir panjang web addres langsung ku ganti nama menjadi “skandal saiful jamil” gila eue pencarian membuahkan hasil hanya dengan sekali klik. Hehehehe.

Cukup ahh pembukaannya,.
Sebenarnya aku pengen menulis tentang kondisi masyarakat pada saat pemilu. Btw langsung aja ding aku tulis apa yang aku bisa.

Mungkin masyarakat udah terlalu jenuh dengan iklim politik di negeri ini, yang semakin lama bukan malah semakin membaik, malah semakin merosot kualitasnya. Terbukti masyarakat sekarang sangat susah untuk percaya pada wakil-wakil mereka di pemerintahan sono.

Aku mau mencoba menulis se-obyektif mungkin tentang hubungannya masyarakat dan wakil nya. Yapp!!, dengan pengetahuan ku yang terbatas. Wallaah!!

Di sini, di tempat aku tinggal. Pesta demokrasi seharusnya merupakan pestanya masyarakat cerdas, yang memilih pemimpinnya bukan atas dasar duit 200 atau 300 ribu yang membuatnya harus menuggu selama lima tahun untuk mendapatkan haknya kembali yang telah di jual seharga uang tadi. Dalam kondisi ini seolah-olah rakyat menjadi barang mahal yang menjadi rebutan kolektor maniac yang ingin memilikinya dengan segala cara, rakyat memiliki nilai tinggi, yaitu 200 ribu/suara untuk haknya di dalam pemerintahan selama lima tahun. Terlalu miskin kah masyarakat, hanya dengan uang segitu ia rela menjual suaranya yang bernilai tingi tersebut dengan senang hati dan tertawa-tawa.

Di satu sisi Untuk mendapatkan konstituen sebanyak-banyaknya, sebagian para calon wakil rakyat itu dengan hati dan tulus rela menerima balasan yang tidak setimpal di akhirat kelak atas cara-cara amoral yang mereka tempuh untuk memuluskan jalannya menuju kursi idaman. Denguan suap, nge “bomb” (istilah yang di gunakan untuk serangan fajar, di daerah ku), melontarkan janji-janji yang indah nan memuakkan hingga ada yang menguasai kartu pemilih yang hanya akan di berikan pada orang yang mau memilihnya. Bahkan ada calon-calon yang tak sekalipun terjun ke masyarakat untuk menyerap aspirasi yang akan di perjuangkannya di kursi legeslatif kelak.

Di sisi yang lain ada calon yang setengah mati melakukan sosialisasi dan pembinaan untuk memaparkan program-progamnya bila kelak ia terpilih, yang secara empiris telah memberikan bukti real pada masyarakat tentang kinerjanya selama menjadi anggota dewan.

Seakan pembinaan, sosialisasi berbulan-bulan, realisasi aspirasi-aspirasi bagi jalan-jalan dan gang-gang yang rusak berat serta tempat-tempat ibadah dan pengalaman tugas sebagai anggota DPRD periode 2004-2009 serta merta julukan “vokalis-nya DPRD” dari rekan-rekan wartawan derah, karena ia yang paling sering bernyanyi untuk menyuarkan aspirasi rakyat tidak cukup untuk menarik simpatik rakyat daerah. Karena rakyat lebih memilih orang yang tidak di tau asal-usul serta kerja nyatanya, melihatnya pun hanya sesekali saat pergi mengantar anaknya ke sekolah lantaran balihonya berjejer-jejer di sepanjang jalan. Saya rasa bukan karena apapun masyarakat memutar haluan untuk memilih politisi-politisi tersebut, selain karena serangan bomb yang dilancarkan pada fajar, hari pemilihan. Mungkin memang uanglah yang maha esa yang mampu mempengaruhi pikiran hanya dalam hitungan menit.

Tidak sedikit pula calon legeslatif yang sudah mengeluarkan banyak uang namun saat perhitungan suara di TPS hanya air mata duka yang ia dapatkan karena suara yang ia peroleh jauh dari yang di harapkan untuk mendapatkan kursi empuk di gedung perwakilan rakyat, sepertinya caleg ini telah di bodohi oleh masyarakat, masyarakat yang lebih suka memilih duitnya ketimbang partainya.

Barangkali masyarakat menjadi seperti ini pengaruh luka kekecewaan yang mendalam karena ulah politisi-politisi busuk yang tidak mampu mengemban amanah-amanah mereka dengan baik. Akibatnya segelinitir politisi yang bersih, yang mencurahkan kecerdasan, kejujuran dan komitmennya untuk berjuang bersama rakyat dengan tulus ikhlas pun terkena imbasnya.

Semoga pembaca dapat menyimpulkan, masyarakat yang cerdas itu yang seperti apa? Apakah masyarakat yang bisa membodohi calon perwakilannya ataukah masyarakat yang memilih atas dasar pilihan dari lubuk hati secara empiris.

Karena menurut saya yang berperan penting dalam mewujudkan pemerintahan yang cerdas adalah masyarakat yang cerdas. (Belajar Nulis)

No Response to "Pesta Demokrasi, Harusnya Pestanya Masyarakat Cerdas II"

Leave A Reply